Keberkahan Dari Khaliq Tak Perlu Perantara Makhluq - Edisi Khutbah Jum'at

Oleh Ustadz Imron Hazmi Fauzi

 

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ للهِ ﻧَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻨُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻩْ ﻭَﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﺎللهِ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﺭِ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ ﻭَﻣِﻦْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻨَﺎ، ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍللهُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ.

أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ إِلاَّ اللّٰه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰه،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

فَيَا عِبَادَ اللّٰه، أُوْصِيْنِيِ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللّٰه، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

وَقَالَ تَعَالَى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. صَدَقَ اللّٰهُ الْعَظِيمْ

Segala puji bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan nikmat-Nya yang tak terhitung kepada kita. Nikmat iman, nikmat Islam, nikmat kesehatan, dan nikmat kesempatan untuk berkumpul pada hari dan tempat yang mulia ini. Kita berdo’a semoga kita termasuk orang-orang selalu mensyukuri semua ini, karena setiap detik nafas yang kita hirup adalah anugerah dari-Nya. Firman Allah Swt,

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ... ١٨

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya...” (QS. An-Nahl: 18).

 

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai pembawa risalah kebenaran, juga penuntun umat menuju jalan yang lurus, serta kepada keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Sebagai umatnya, sudah sepatutnya kita meneladani akhlak dan sunnah beliau, serta menjaga ajaran yang beliau wasiatkan kepada kita dengan sebaik-baiknya. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafa’at beliau di hari kiamat kelak. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.


Ikhwatu Iman RahimakumuLlah.

Di masyarakat, ada kecenderungan menggantungkan harapan dan keberkahan hidup kepada orang lain, terutama kepada mereka yang dianggap sebagai orang suci atau wali. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang mandiri, bekerja keras, dan berusaha untuk menjadi berkah bagi orang lain.

 

Setidaknya, kami merangkum ada 5 poin yang akan disampaikan pada kesempatan ini :

1. FENOMENA BERGANTUNG PADA ORANG LAIN

    Sering kita jumpai, masyarakat sangat menghormati seorang yang dipandang sebagai ulama, habaib, atau wali. Foto-fotonya dipajang di berbagai tempat; rumah ataupun tokonya, dengan harapan mendapatkan berkah (ngalap berkah) dari karamahnya. Namun, di balik penghormatan ini, yang ada hanyalah kecenderungan untuk menggantungkan harapan kepada mereka saja, sekalipun setelah wafatnya.

    Rasulullah Saw. sendiri bahkan telah mengingatkan umatnya untuk tidak mengkultuskan individu, sebagaimana sabdanya,

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa Rasuluhu’ (hamba Allah dan Rasul-Nya).” (HR. Bukhari dari Umar bin Khattab).

    Penghormatan kepada ulama atau orang shalih seharusnya diwujudkan dengan meneladani akhlak, ilmu, dan amal shalih mereka, bukan menjadikan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau mengharapkan berkah dari mereka secara berlebihan, karena hal ini berpotensi mengarah pada syirik kecil (syirik asghar) yang dapat merusak kemurnian tauhid. Maka, kita harus kembali kepada prinsip bahwa hanya Allah-lah sumber segala keberkahan, dan cara terbaik untuk meraihnya adalah dengan meningkatkan ketakwaan, bukan dengan menggantungkan harapan pada makhluk, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

 

2. KEBERKAHAN SEJATI DALAM ISLAM

    Keberkahan sejati dalam Islam itu datang dari usaha dan kerja keras kita sendiri. Dalam lingkup keluarga misalnya, seorang kepala keluarga (suami/ayah), Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 233,

...وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗۚ...

"Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut."

Juga dalam QS. Ath-Thalaq: 7,

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا

"Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan."

    Artinya, keberkahan dalam hidup datang melalui kerja keras, amal shalih, dan ketergantungan yang benar (hanya) kepada Allah. Islam mengajarkan bahwa kerja keras untuk mencari rezeki yang halal adalah ibadah yang mulia, sebagaimana firman Allah,

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ...

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk: 15).

      Selain itu, keberkahan juga hadir ketika kita bersedekah sebagai upaya menebar manfaat kepada orang lain, karena sedekah tidak hanya membersihkan harta tetapi juga melipat-gandakan rezeki, seperti dalam firman-Nya,

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ...

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.” (QS. Al-Baqarah: 261).

    Juga, kita hendaknya menghindari sikap menggantungkan harapan pada orang lain, sekalipun mereka shalih, karena Islam mengajarkan kemandirian dan tawakal setelah berusaha. Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa seorang Arab Badui melepaskan untanya di depan pintu masjid Rasulullah, kemudian ia masuk ke dalamnya sambil berkata: "Aku bertawakal kepada Allah." Maka Nabi Saw. bersabda: إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ, “Ikatlah (dulu) untamu (maksudnya: lakukan ikhtiar), lalu bertawakallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik).

    Dengan demikian, keberkahan sejati adalah hasil dari kombinasi kerja keras, amal shalih, dan ketergantungan yang tulus kepada Allah, bukan sekadar mengharapkan bantuan atau keberuntungan dari manusia.

      Firman Allah Swt,

... وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ...

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).”* (QS. Ath-Thalaq: 3).

 

3. MENJADI PRIBADI YANG MANDIRI

      Dalam suatu hadits diriwayatkan,

وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللهِ: لأَنْ يَحْتَطِبَ اَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدًا فَيُعْطِيَهُ اَو يَمْنَعَهُ

"Sesungguhnya, seorang dari kalian pergi mencari kayu bakar yang dipikul di atas pundaknya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau tidak."* (HR. Bukhari).

  Ini menunjukkan bahwa Islam sangat mendorong umatnya untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. 

    Kemandirian dalam Islam bukan sekadar tentang mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa menjadi pribadi yang mandiri secara finansial, spiritual, dan sosial yang berefek setelahnya mampu menebar manfaat bagi orang lain. Rasulullah Saw bersabda,

اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

“Tangan di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (yang menerima).”* (HR. Bukhari dan Muslim dari Hakîm bin Hizâm).

    Islam menolak sikap pasif dan menggantungkan harapan pada hal-hal yang tidak diajarkan syariat, seperti mengikuti acara-acara haul atau memajang foto orang yang dianggap suci dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan mendatangkan keberkahan. Padahal, keberkahan sejati datang dari amal shalih yang nyata. Sejatinya, keberkahan didapat tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi kemandirian yang sejati itu selalu berbuah kebermanfaatan, baik dalam bentuk materi, ilmu, maupun dukungan moral, sehingga kita menjadi bagian dari solusi, bukan beban, bagi umat dan masyarakat.

 

...بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ...

 

4. BAHAYA BERGANTUNG PADA PERANTARA

    Belakangan ini, muncul kelompok-kelompok yang mengklaim bahwa kita tidak bisa dekat dengan Allah Swt. kecuali melalui perantara mereka. Menjadi ironi karena ternyata biasanya ujung-ujungnya mereka meminta bayaran dari pemberian "wasilah" atau yang mereka istilahkan sebagai jalan tol menuju surga. Ini adalah praktik yang sangat berbahaya dan menyimpang dari ajaran Islam. 

      Allah SWT berfirman dalam QS. Az-Zumar: 3,

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

"Dan orang-orang yang mengambil wali (pelindung) selain Allah (berkata): 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.'" 

      Padahal, kita tidak perlu perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah SWT sendiri telah berfirman bahwa Dia lebih dekat kepada kita daripada urat leher kita sendiri (QS. Qaf: 16). Hubungan antara manusia dan Allah adalah hubungan yang langsung, karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segala doa, harapan, dan keluh kesah hamba-Nya. Ini berarti tidak perlu adanya praktik-praktik yang mengarah pada pengkultusan individu, seperti mengikuti ritual tertentu dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan mendekatkan diri kepada Allah, karena hal itu justru dapat mengurangi kemurnian tauhid.

 

5. PENTINGNYA BERTOBAT DAN TIDAK PUTUS ASA

    Hal ini merupakan salah satu dosa besar, yakni dicap oleh Allah Swt sebagai orang kafir, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Yusuf: 87,

اِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

"Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir."

    Kita harus yakin bahwa ampunan Allah jauh lebih besar daripada dosa-dosa kita. Tidak ada dosa yang terlalu besar selama kita mau bertobat dan kembali kepada-Nya.

“Anggaplah kita punya maksiat yang sangat luar biasa, bila dosa kita setinggi gunung, maka ampunan Allah Swt setinggi langit. Ketika kita datang dengan dosa yang sangat luar biasa; sebanyak buih di lautan, maka ampunan/magfirah Allah Swt itu bahkan jauh lebih besar daripada alam semesta, jauh lebih besar daripada yang bisa kita bayangkan.”

    Intinya, jangan sampai kita terjebak dalam stigma pemikiran bahwa kita tidak bisa dekat dengan Allah kecuali melalui perantara orang lain.

 

Ikhwatu Iman RahimakumuLlah, 

Mari menjadi pribadi yang mandiri, bekerja keras, dan berusaha untuk saling menebar keberkahan. Tidak perlu menggantungkan harapan kita pada orang lain, sekalipun mereka adalah orang yang shalih. Keberkahan sejati datang dari usaha kita sendiri dan kedekatan kita dengan Allah SWT. 

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ. اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ.

“Dialah Allah, Yang Maha Esa. Tanpa sekutu. Tak berbilang dalam nama, sifat, dan ketuhanan-Nya. Tempat meminta segala sesuatu. Maha Pencipta, Mahakaya, dan Mahakuasa. Dia tidak memerlukan yang lain, sedangkan semua makhluk bergantung kepada-Nya.”

...

Alhamdulillah, cukup sekian khutbah Jumat kali ini. Semoga apa yang telah disampaikan dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah Swt. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat tutur kata yang kurang berkenan, atau penjelasan yang tidak sesuai dengan kebenaran. Karena kebenaran mutlak hanyalah milik Allah, sedangkan kesalahan datang dari kelemahan pribadi. Mari kita senantiasa berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup, serta memohon ampunan kepada Allah atas segala kekhilafan. Semoga Allah senantiasa membimbing kita ke jalan yang lurus dan diridhai-Nya. Aamiin ya Rabbal ‘alamin

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ ... وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ ... فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْم

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ

رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا، وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا، إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Posting Komentar untuk "Keberkahan Dari Khaliq Tak Perlu Perantara Makhluq - Edisi Khutbah Jum'at"